Cari Blog Ini

Senin, 05 April 2010

Gamelan

Gamelan Banjar adalah seni karawitan dengan peralatan musik gamelan yang berkembang di kalangan suku Banjar di Kalimantan Selatan. Gamelan Banjar yang ada di Kalsel ada 2 versi yaitu :
1. Gamelan Banjar versi keraton
2. Gamelan Banjar versi rakyatan
Daftar isi
• 1 Gamelan Banjar versi keraton
• 2 Gamelan Banjar versi rakyatan
• 3 Perkembangan
• 4 Sejarah
• 5 Kaliningan Hulu Sungai

Gamelan Banjar versi keraton
Gamelan Banjar versi keraton, perangkat instrumennya :
1. babun
2. gendang dua
3. rebab
4. gambang
5. selentem
6. ketuk
7. dawu
8. sarun 1
9. sarun 2
10. sarun 3
11. seruling
12. kanung
13. kangsi
14. gong besar
15. gong kecil
Gamelan Banjar versi rakyatan
Gamelan Banjar versi rakyatan, perangkat instrumennya :
1. babun
2. dawu
3. sarun
4. sarantam
5. kanung
6. kangsi
7. gong besar
8. gong kecil
Perkembangan
Dalam perkembangannya musik gamelan Banjar versi keraton semakin punah. Sementara musik Gamelan Banjar versi rakyatan hingga saat ini masin eksis.
Sejarah
Gamelan Banjar keberadaannya sudah ada sejak zaman Kerajaan Negara Dipa pada abad ke-14 yang dibawa oleh Pangeran Suryanatake Kalimantan Selatan bersamaan dengan kesenian Wayang Kulit Banjar dan senjata keris sebagai hadiah kerajaan Majapahit. Pada masa itu masyarakat Kalsel pada waktu itu dianjurkan untuk meniru budaya Jawa.
Pasca runtuhnya Kerajaan Negara Daha (1526), ada beberapa pemuka adat yang mengajarkan seni gamelan dan seni lainnya kepada masyarakat yaitu :
1. Datu Taruna sebagai penggamelan
2. Datu Taya sebagai dalang wayang kulit
3. Datu Putih sebagai penari topeng
Masa Pangeran Hidayatulla, penabuh-penabuh gamelan disuruh belajar menabuh gamelan di keraton Solo. Dalam hal itu hingga sekarang, baik pukulan dan lainnya menjadi panutan gamelan Gusti-gustian, terutama sekali pukulan yang hanya ditambah dua kali akhir gong.
Selain itu, tidak ditemukan lagi gamelan yang lengkap seperti Simanggu Besar dan Simanggu Kecil, namun yang dikenal hanya lagu : ayakan, perangan, geol, mas mirah dan perang alun.

Kaliningan Hulu Sungai
Di daerah Hulu Sungai group yang dipimpin Utuh Aini menguasai rumpun Kaliningan yang awalnya dikembangkan Dalang Tulur, Dalang Asra, Sarbaini, Busrajuddin dan Aci. Karena Kaliningan Hulu Sungai bersifat praktis cukup ditabuh hanya 8 orang. Gamelan tersebut terdiri dari :
1. 2 buah sarun
2. 1 buah sarantam
3. 1 buah kanung
4. 1 buah katuk
5. 1 buah kangsi
6. 1 buah babun
7. gong besar
8. gong kecil

Bersih itu Indah


Bersih!!! Bersih adalah sebagian dari iman kita.dengan lingkungan yang bersih membuat kenyamanan,keindahan dan kesejukan yang dirasakan.maka dari itu marilah bersihkan lingkungan kita dan buanglah sampah ditempatnya,ayo hijaukan dan bersihkan dunia kita!!!

Kreasi



Dengan Kreasi kita dapat menciptakan suatu yang indah,dan keindahan itu membuat ketakjuban dihati.hidup penuh dengan kegiatan,dengan kegiatan itu kita dapat menciptakan suatu hal yang penuh kreasi.
kerjakanlah kegiatan itu hingga membuahkan hasil yang menakjubkan.

kedahsyatan ketelitian

hal yang luar biasa bisa kita ciptakan dengan sebuah kreatifitas dan ketelitian yang tajam,lihatlah gambar !
kita tidak bisa terbang seperti halnya burung tapi kita bisa menciptakan suatu alat untuk bisa terbang yaitu pesawat terbang, dari contoh tersebut bahwa yang menciptakan penuh dengan ketelitian dan kreatifitas yang dahsyat.mka dari itu ciptakanlah hal yang luar biasa.

Imajinasi

dengan imajinasi kita bisa menciptakan hal yang unik dan menggugah perasaan.lihat gambar!
tentunya kita berfikir bagaimana cara membuat mobil? tentunya kita bingung bukan.
tapi beda bagi seseorang yang selalu berimajinasi yang tinggi dalam menciptakan karya yang dahsyat.
imajinasi juga membuat kita untuk inspirasi dalam menciptakan sebuah karya.untuk itulah saya menganjurkan untuk berimajinasi yang tinggi dan tentunya yang bernilai positif

Kuda Lumping

Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang di anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan,
kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Jaran Kepang merupakan bagian dari pagelaran tari reog. Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, Indonesia, tarian ini juga diwariskan oleh kaum Jawa yang menetap di Malaysia dan Singapura.
Kuda lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sejarah
Konon, tari kuda lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali dalam pertunjukan tari kuda lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda
Variasi Lokal
Di Jawa Timur, seni ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah, seperti Malang, Nganjuk, Tulungagung, dan daerah-daerah lainnya. Tari ini biasanya ditampilkan pada event-event tertentu, seperti menyambut tamu kehormatan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam pementasanya, tidak diperlukan suatu koreografi khusus, serta perlengkapan peralatan gamelan seperti halnya Karawitan. Gamelan untuk mengiringi tari kuda lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari Kendang, Kenong, Gong, dan Slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking. Sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.
Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional kuda lumping ini seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya dilakukan di lapangan terbuka.
Pagelaran Tari Kuda Lumping
Dalam setiap pagelarannya, tari kuda lumping ini menghadirkan 4 fragmen tarian yaitu 2 kali tari Buto Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon Putri.
Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat mengalami kesurupan atau kerasukan roh halus. Para penonton pun tidak luput dari fenomena kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para penari lainnya.
Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para datuk, yaitu orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam yang dikenakannya. Para datuk ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.
Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe.
Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup dari seluruh rangkaian atraksi tari kuda lumping.

Minggu, 04 April 2010

Tari Pendet

Tari pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan Rindi (? - 1967).
Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis.
Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.
Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.

Sintren

Bagi sebagian masyarakat pesisir, sintren menjadi bagian dari ritual pemanjatan doa untuk kesejahteraan bersama. Apalagi jika dilihat dari legendanya, sintren mencipta sinergitas antara dunia nyata dengan dunia di luar kesadaran manusia.
Dan jika berdasarkan sejarahnya pula, sintren merupakan legenda yang berbeda-beda. Di Kabupaten Tegal, sintren merupakan ritual yang penuh dengan nuansa magis, begitu juga di Pemalang, Cirebon, Indramayu, dan Pekalongan. Sementara di Pemalang, sintren tak lain merupakan pola permainan anak-anak.
Dalam sejarah masyarakat Pekalongan, sintren merupakan cerita tragedi romantis layaknya cerita Romeo and Yuliet. Syahdan, ada sepasang anak manusia yang sedang jatuh cinta. Yakni Sulasi dan Sulandana. Sulasi merupakan anak orang tak punya, sedang Sulandana adalah anak adipati Pekalongan waktu itu. Proses percintaan antara keduanya tidak pernah direstui oleh ayah Sulandana.
Untuk menggagalkan pertalian kedua insan tersebut, ayah Sulandana kemudian menyuruh orang-orangnya untuk membunuh Sulasi. Sulasi pun mati dan hilang tanpa jejak dan bekas. Peristiwa hilangnya Sulasi yang tak tahu rimbanya ini, membuat Sulandana kalang kabut. Dan karena saking cintanya, ia kemudian bersumpah untuk tidak menikah dan bertekad mencari Sulasi hingga ajal menjemputnya.
Dalam proses pencarian ini, Sulandana menyempatkan diri bertanya kepada gurunya. Lalu, sang guru kemudian memberikan pengarahan bahwa dia akan bertemu dengan Sulasi jika dia mau mendatangkan Kamajaya dan Kamaratih (Dewa dan Dewi Cinta pada masa itu). Biasanya, Kamajaya dan Kamaratih akan datang setiap masa hujan. Dan jika pasangan Dewa-Dewi ini hadir, maka Sulasi akan mengikuti di belakangnya.
Untuk mendatangkan pasangan ini pula, Sulandana kemudian mengadakan ritual, yang kemudian oleh masyarakat dijadikan sebagai ritual untuk mendatangkan hujan. Sehingga, ritual ini biasa dilakukan oleh masyarakat pesisir ketika kemarau panjang melanda wilayahnya. Dengan turunnya hujan, secara otomatis, tanah-tanah menjadi subur dan kesejahteraan masyarakat terjaga.

Proses Sintren

Dalam proses menjadikan seorang jadi sintren, Ngelandang menggunakan mantra-mantra khusus yang belum tentu ada artinya. Yakni mantra-mantra itu hanya digunakan olehnya untuk menciptakan nuansa magis atau dalam istilahnya memancing dunia purba.
Apalagi hal ini ditopang dengan tembang-tembang yang didendangkan para sinden dan diiringi suara gamelan yang ditabuh oleh para niyaga. ’’Bagi saya sendiri, menurut pengalaman saya melihat sintren, mantra-mantra itu tidak memiliki makna sama sekali. Hanya saja, suara-suara itu mencipta nuansa magis yang berasal dari dunia imajinasi. Lalu, bagaimana kalau suara-suara atau mantra-mantra itu diganti dengan suara-suara atau mantra ciptaan sendiri,’’ terang Slamet Gundono ketika mengisi workshop sintren dalam Festival Sintren di Desa Dukuh Salam Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, yang berakhir Selasa (18/12) kemarin.
Lebih lanjut, Gundono menegaskan bahwa mantra-mantra atau tembang-tembang itu bisa diganti dengan suara-suara ciptaan sendiri. Hal ini memungkinkan adanya sintren modern yang sudah mengalami perubahan. Yakni, sintren bukan lagi menjadi ritual, tetapi murni menjadi hiburan bagi masyarakat.

Reog Ponorogo

Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan “sindiran” kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai “Singa Barong”, raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya. Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan ‘kerasukan’ saat mementaskan Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.

Pementasan Seni Reog

Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

Kontroversi
Tarian Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan. Deskripsi akan tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak, yang merupakan asli buatan pengrajin Ponorogo. Permasalahan lainnya yang timbul adalah ketika ditarikan, pada reog ini ditempelkan tulisan “Malaysia” dan diaku menjadi warisan Melayu dari Batu Pahat Johor dan Selangor Malaysia – dan hal ini sedang diteliti lebih lanjut oleh pemerintah Indonesia. Hal ini memicu protes dari berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang berkata bahwa hak cipta kesenian Reog dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Ribuan Seniman Reog pun menggelar demo di depan Kedutaan Malaysia. Berlawanan dengan foto yang dicantumkan di situs kebudayaan, dimana dadak merak dari versi Reog Ponorogo ditarikan dengan tulisan “Malaysia”, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain pada akhir November 2007 kemudian menyatakan bahwa “Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut “barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor karena dibawa oleh rakyat Jawa yang merantau ke negeri jiran tersebut.

Kamis, 01 April 2010

Riwayat Angklung

Angklung


Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia yang terbuat dari bambu. Sebuah angklung terdiri beberapa tabung
bambu (tergantung fungsinya) yang berbeda ketinggian dan diameternya untuk mencapai harmoni nada yang diinginkan.
Sebuah angklung melodi biasanya terdiri dari dua tabung yang menghasilkan nada terpaut satu oktaf,sementara
angklung pengiring (accompagnement)terdiri daritiga atau bahkan empat tabung tergantung accord yang dimainkan.
Tabung-tabung tersebut kemudian diikatkan pada rangka batang bambu untuk membentuk alat musik angklung yang
lengkap.
Sebuah angklung hanya menghasilkan satu nada, jadi untuk memainkan sebuah lagu dibutuhkan beberapa set angklung
yang dimainkan oleh banyak orang. Kurang lebih seperti kelompok paduan suara dalam membawakan sebuah lagu.
Untuk memainkannya, kita cukup menggoyangkan atau menggetarkannya.
Sejarah
Angklung dipercayai berasal dari pulau Jawa, khususnya tanah Sunda. Beberapa catatan dari orang Eropa yang
melakukan perjalanan ke tanah Sunda pada abad 19 mengatakan bahwa di daerah ini sering terlihat "permainan"
angklung oleh orang-orang setempat. Angklung memang juga dikenal di daerah-daerah lain di pulau Jawa, tetapi di
tanah Sunda alat musik ini lebih populer.
Pada awalnya, angklung tradisional digunakan oleh orang-orang desa pada masa itu sebagai bagian dari ritual kepada
Dewi Sri untuk meminta panen melimpah. Umumnya dibawakan dalam tangga nada pentatonis (terdiri dari lima nada)
dan memainkan melodi yang berulang. Acara seperti ini biasanya dilakukan di ruang terbuka, sambil menari-nari dengan
dengan diiringi alat musik tradisional lain seperti goong, kendang, dan tarompet. Kesenian semacam ini masih
dilestarikan di beberapa tempat di Jawa Barat.
Lahirnya Angklung Modern
Awal abad 20, angklung tradisional mulai menghilang. Pada tahun 1938, Daeng Sutigna, seorang guru berpendidikan
Belanda di Bandung, menciptakan angklung dalam tangga nada diatonis yang terdiri dari tujuh nada. Hal ini menandai
lahirnya angklung modern. Kelebihan angklung ini adalah ia dapat membawakan lagu-lagu Barat klasik dan populer
yang rata-rata bernada diatonis, sehingga dapat menjangkau selera musik masyarakat yang lebih luas.
Kini lagu yang dimainkan tidak lagi berkisar pada lagu-lagu tradisional, tetapi juga lagu-lagu klasik, lagu pop, new age,
bahkan lagu rock. Dengan angklung modern, lagu rock melodius seperti We Are the Champion dan Bohemian Rapshody
dari Queen dapat dibawakan oleh alat musik angklung!
Angklung "jenis baru" ini pertama kali diperkenalkan pa Daeng kepada sekelompok anak-anak pramuka. Setelah
dipertunjukkan oleh murid-murid sekolah pada acara Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, angklung diatonis
atau angklung modern ini semakin dikenal masyarakat hingga saat ini menjadi kegiatan ekstrakurikuler di berbagai
sekolah. Memang pada awalnya pak Daeng menginginkan angklung sebagai alat pendidikan. Mottonya adalah 5 M :
Murah, Mudah, Menarik, Massal, dan Mendidik. Murah, karena bahan-bahan untuk membuat alat musik ini murah dan
mudah didapat di Indonesia. Mudah, karena untuk memainkan angklung seseorang tidak perlu memiliki keterampilankhusus. Menarik, dilihat dari keunikannya bentuknya dan cara memainkannya. Massal karena untuk memainkannya
melibatkan banyak orang. Dan Mendidik dalam arti alat musik ini memiliki unsur pendidikan selain musik.
Alat Musik Pendidikan dan Persahabatan
Untuk memainkan sebuah lagu sederhana, seseorang dapat memainkan satu set angklung sendiri, atau membentuk
sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa orang (tergantung lagunya). Semakin kompleks aransemen sebuah lagu
yang dimainkan, semakin banyak angklung dan pemain yang dibutuhkan. Disini unsur massal dari angklung berperan.
Terlibatnya banyak orang dalam memainkan sebuah lagu, melatih para pemain menjadi peka akan musik, lagu dan
bagian-bagiannya, dan juga mendidik mereka akanpentingnya kerjasama antar anggota kelompok yang memegang
nada yang berbeda agar bersama-sama dapat menghasilkan musik yang indah dan harmoni.
Kemudahan dalam memainkan alat musik ini membuat banyak orang tertarik akan angklung. Karena sebuah angklung
hanya menghasilkan satu nada, orang yang memegang angklung nada tertentu hanya memainkannya jika nada tersebut
muncul dalam lagu. Cukup mengikuti instruksi dari konduktor, tanpa memerlukan keahlian musik tertentu. Karena
kemudahan inilah, di acara-acara pertunjukan musik angklung, penonton sering ikut dilibatkan untuk bermain setelah
pertunjukan utama selesai. Contohnya yang dilakukan di Saung Angklung Udjo, Bandung. Setelah pertunjukan yang
dibawakan oleh anak-anak selesai, para penonton yang rata-rata wisatawan mancanegara diajak sama-sama bermain
angklung, dan karenanya hubungan antara pemain dan penonton semakin dekat dan suasananya lebih bersahabat.
Kemudahan dan unsur persahabatan ini pula yang menjadikan angklung semakin diterima sebagai "duta musik"
Indonesia di luar negeri. Musik angklung seringkali dipertunjukkan dalam acara pertukaran budaya Indonesia di luar
negeri, dan kini bermunculan grup-grup angklung di berbagai negara. Angklung telah menjadi identitas bangsa dan duta
musik Indonesia dalam menjalin persahabatan dengan bangsa lain. Maka tidak salah jika angklung disebut alat musik
persahabatan.
Jika anda ingin mengetahui lebih jauh dan melihat lebih jelas tentang keunikan angklung, sempatkan untuk singgah ke
Saung Angklung Udjo di jalan Padasuka, Bandung. Disana anda akan mengerti mengapa angklung dikatakan alat musik
persahabatan.(DD)

Seni Indonesiaku

Sejarah Wayang di Indonesia

wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme menyembah 'hyang', itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun 'merti desa' agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala mala (masih ingat lakon 'sudamala', kan?) di tahun (898 - 910) M wayang sudah menjadi wayang purwa namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung
sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara(terjemahan kasaran-nya kira-kira begini :menggelar wayang untuk para hyang menceritakan tentang bima sang kumara) di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 - 1042 M
mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa
di masa raja erlangga sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh
tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini,sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali)
di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi (saya juga tidak tahu, apa arti 'kertas jawi' ini )dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian
masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa
kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat 'naik'-nya pamor tokoh 'dewa' yang kini 'ditempatkan' berada di atas 'hyang'abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa 'sekularisasi' wayang tahap satu
dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa
dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak
( 1500 - 1550 M ) ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam
maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang ditipiskan
(di wilayah kerajaan demak masa itu,sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . . ) gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nyasunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita
raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan sunan kudus kebagian tugas men-dalang 'suluk' masih tetap dipertahankan,dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha




pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan (joan crawford pun mestinya bayar royalti pada dia, nih !) selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan jaman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata :raja dan ratu memakai mahkota/topong
rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu
sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog
dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keraton
di masa mataram islam wayang semakin berkembang panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit
pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk 'nyempurit' dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru :
cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan
sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang
bentuk mata semakin diperbanyak
dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk)
setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru
raksasa berambut merah bertaji seperti kuku
yang akhirnya disebut 'buta prapatan' atau 'buta rambutgeni'
(catatan hms :
mungkinkah ini ada kaitannya
dengan berdirinya voc di tahun 1602 ? )
berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung
dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang
dengan munculnya ide-ide 'nyeleneh' para dhalang
berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan
dalam tata panggung maupun perangkat gamelan
begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan
oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan

dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran
sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi
mana yang cerita 'pakem' dan mana 'carangan'
(cerita tentang asal-usul semar, misalnya,
ada beberapa versi yang semuanya layak untuk dipelajari )
tapi siapa sih yang bisa disebut 'berwenang menghakimi' ?

walau demikian, garis besar struktur dramatika-nya agaknya relatif tetap
pathet nem, pathet sanga, lalu pathet manyura
relatif standar dan tetap
seperti juga mengenai inti filsafatnya sendiri :
wayang adalah perlambang kehidupan kita sehari-hari