Cari Blog Ini

Minggu, 04 April 2010

Sintren

Bagi sebagian masyarakat pesisir, sintren menjadi bagian dari ritual pemanjatan doa untuk kesejahteraan bersama. Apalagi jika dilihat dari legendanya, sintren mencipta sinergitas antara dunia nyata dengan dunia di luar kesadaran manusia.
Dan jika berdasarkan sejarahnya pula, sintren merupakan legenda yang berbeda-beda. Di Kabupaten Tegal, sintren merupakan ritual yang penuh dengan nuansa magis, begitu juga di Pemalang, Cirebon, Indramayu, dan Pekalongan. Sementara di Pemalang, sintren tak lain merupakan pola permainan anak-anak.
Dalam sejarah masyarakat Pekalongan, sintren merupakan cerita tragedi romantis layaknya cerita Romeo and Yuliet. Syahdan, ada sepasang anak manusia yang sedang jatuh cinta. Yakni Sulasi dan Sulandana. Sulasi merupakan anak orang tak punya, sedang Sulandana adalah anak adipati Pekalongan waktu itu. Proses percintaan antara keduanya tidak pernah direstui oleh ayah Sulandana.
Untuk menggagalkan pertalian kedua insan tersebut, ayah Sulandana kemudian menyuruh orang-orangnya untuk membunuh Sulasi. Sulasi pun mati dan hilang tanpa jejak dan bekas. Peristiwa hilangnya Sulasi yang tak tahu rimbanya ini, membuat Sulandana kalang kabut. Dan karena saking cintanya, ia kemudian bersumpah untuk tidak menikah dan bertekad mencari Sulasi hingga ajal menjemputnya.
Dalam proses pencarian ini, Sulandana menyempatkan diri bertanya kepada gurunya. Lalu, sang guru kemudian memberikan pengarahan bahwa dia akan bertemu dengan Sulasi jika dia mau mendatangkan Kamajaya dan Kamaratih (Dewa dan Dewi Cinta pada masa itu). Biasanya, Kamajaya dan Kamaratih akan datang setiap masa hujan. Dan jika pasangan Dewa-Dewi ini hadir, maka Sulasi akan mengikuti di belakangnya.
Untuk mendatangkan pasangan ini pula, Sulandana kemudian mengadakan ritual, yang kemudian oleh masyarakat dijadikan sebagai ritual untuk mendatangkan hujan. Sehingga, ritual ini biasa dilakukan oleh masyarakat pesisir ketika kemarau panjang melanda wilayahnya. Dengan turunnya hujan, secara otomatis, tanah-tanah menjadi subur dan kesejahteraan masyarakat terjaga.

Proses Sintren

Dalam proses menjadikan seorang jadi sintren, Ngelandang menggunakan mantra-mantra khusus yang belum tentu ada artinya. Yakni mantra-mantra itu hanya digunakan olehnya untuk menciptakan nuansa magis atau dalam istilahnya memancing dunia purba.
Apalagi hal ini ditopang dengan tembang-tembang yang didendangkan para sinden dan diiringi suara gamelan yang ditabuh oleh para niyaga. ’’Bagi saya sendiri, menurut pengalaman saya melihat sintren, mantra-mantra itu tidak memiliki makna sama sekali. Hanya saja, suara-suara itu mencipta nuansa magis yang berasal dari dunia imajinasi. Lalu, bagaimana kalau suara-suara atau mantra-mantra itu diganti dengan suara-suara atau mantra ciptaan sendiri,’’ terang Slamet Gundono ketika mengisi workshop sintren dalam Festival Sintren di Desa Dukuh Salam Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, yang berakhir Selasa (18/12) kemarin.
Lebih lanjut, Gundono menegaskan bahwa mantra-mantra atau tembang-tembang itu bisa diganti dengan suara-suara ciptaan sendiri. Hal ini memungkinkan adanya sintren modern yang sudah mengalami perubahan. Yakni, sintren bukan lagi menjadi ritual, tetapi murni menjadi hiburan bagi masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar